Di zaman yang
serba modern pengaruh globalisasi sudah tidak terbendung lagi. Globalisasi
adalah arus pertukaran budaya dari suatu negara atau bangsa ke suatu negara
atau bangsa lain yang meliputi segala aspek kehidupan melalui komunikasi atau
transportasi. Pertukaran budaya antarnegara atau bangsa tersebut tentunya
menunjang dan mengubah sikap dari suatu masyarakat bangsa sehingga diperlukan sikap selektif
agar tidak terjerumus dalam jurang globalisasi. Dengan sikap selektif,
seseorang dapat menyaring pengaruh globalisasi yang dapat memajukan
kehidupannya atau memberi dampak positif terhadap dirinya atau pengaruh yang
dapat membawanya ke dalam hal-hal yang tidak benar. Belajar budaya lain memang
dianggap positif namun alangkah tidak baiknya jika malah melupakan budaya
sendiri dan lebih mencintai budaya asing dibandingkan budayanya sendiri. Hal
demikianlah yang sedang terjadi di Indonesia.
Maraknya remaja di
Indonesia yang lebih mencintai budaya asing dibandingkan budayanya sendiri,
apalagi adanya demam Korea yang sedang merajalela saat ini. Mereka lebih hafal
tentang biodata artis Korea dibandingkan biodata pahlawan di Indonesia yang
jelas-jelas telah berjuang melawan penjajah dan mendirikan NKRI, negara mereka.
Mereka juga lebih hafal lirik lagu Korea dibandingkan lirik lagu wajib atau
lagu tradisional terutama lagu-lagu yang tidak diajarkan di bangku Sekolah
Dasar. Mereka lebih rela antre demi menonton konser Boyband atau Girlband Korea
yang harus berdesak-desakkan dibandingkan nonton seni pertunjukan wayang yang
lebih murah, tradisional, dan tidak berdesak-desakkan tentunya. Mereka menyebut
mereka sendiri dengan istilah K-Popers.
Lalu apa yang membuat
K-popers semakin tergila-gila dengan Budaya Korea dibandingkan budaya mereka
sendiri? Faktor fisik dan penampilanlah yang menjadi nilai jualnya, muka tampan
dan cantik yang mayoritas oplas dengan busana trendy ala masa kini. Mereka
membentuk Boyband dan Girlband, menyanyi dan menari kemudian menebarkan pesona
mereka di atas panggung yang diteriaki banyak penonton. Hal tersebut juga tidak
lepas dari arus globalisasi yang memudahkan pertukaran budaya dan kemudahan
informasi dan komunikasi.
Hal itu bukanlah sepenuhnya
kesalahan dari remaja di Indonesia, namun juga diperlukan analisis terhadap
pertunjukan seni tradisional Indonesia sendiri. Tidak ada yang harus diubah
dari seni tradisional Indonesia agar tidak menghilangkan nilai tradisionalnya
tersebut namun pertunjukannya atau cara menunjukannya di hadapan penonton yang
relatif monotonlah yang diperlukan adanya perbaikan agar tidak membosankan
penonton. Juga diperlukan usaha agar tidak ada kesan bahwa kesenian tradisional
itu ketinggalan zaman dan hanya milik orang lanjut usia.
Budaya Korea telah mengubah
cara berpenampilan remaja di Indonesia. Dari mulai gaya rambut yang diubah
dengan dipotong dan diberi warna agar mirip ala Korea. Pengunaan kaca mata yang
hanya sebagai fantasi pun marak dilakukan remaja di Indonesia meskipun tidak
ada gangguan dengan mata mereka. Mereka rela mengeluarkan dana untuk membehel
gigi mereka yang sebenarnya tidak ada masalah pada gigi mereka. Cara berbusana
dengan warna mencolok yang sama sekali tidak ada perpaduan dari atas ke bawah
pun banyak diterapkan oleh kalangan remaja pecinta Korea berlebih sehingga
tidak sedikit jumlah alayers saat ini. Apalagi remaja cowok pecinta Korea yang
berlebih, mereka terkesan seperti remaja cewek yang cenderung over protective
terhadap penampilan.
Cara bersikap pun mulai
terpengaruh. Mereka berteriak-teriak tak wajar saat melihat boyband atau
girlband favorit mereka yang sedang tampil di televisi, terutama pada remaja
cewek pecinta Korea. Tapi apa mereka akan melakukan hal sama, berteriak-teriak
historis saat melihat pertunjukan seni tradisional tari merak? Sungguh tidak
mungkin. Mereka melongo, berharap menjadi kekasihnya saat melihat aktor Korea
yang bermuka tampan, tak sadar bahwa mereka itu siapa dan dirinya itu siapa.
Memang penampilan seseorang itu perlu, tetapi tidak bagus jika seseorang harus
over protective terhadap perfomance, meniru atau berharap agar penampilannya
sama dengn artis Korea yang terkadang tidak pantas diterapkan di Indonesia dan
bagi mereka sendiri. Banyak anak-anak di Indonesia saat ini yang tidak bisa
berkomunikasi dengan bahasa daerah atau bahasa suku asal mereka. Mereka lebih
senang berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, atau Bahasa asing
lainnya. Bahkan saat ini remaja di Indonesia sedang gencar-gencarnya memburu
kursus Bahasa Korea.
Musik di Indonesia juga
mulai terpengaruh. Banyak boyband dan girlband yang mulai bermunculan di
Indonesia. Mereka menari dan menyanyi bersama-sama sehingga tujuan dari
menyanyi sendiri, yaitu menunjukan kualitas vokal tidak bisa maksimal sehingga
teknik lipssing mulai popular di Indonesia. Hal ini mengakibatkan
syarat utama seseorang menjadi penyanyi bukanlah bakat vokal namun hanya dari
penampilan fisik belaka sehingga banyak artis-artis pendatang baru dengan bakat
menyanyi ala kadarnya namun berani berkecimpung di dunia
tarik suara hanya dengan modal fisik yang menarik. Pengamat musik pun
berpendapat bahwa lirik-lirik lagunya bermakna dangkal dan instrumen musik yang
digunakan lebih beraliran disco electronical. Hal ini sangat tidak bagus bagi
perkembangan musik di Indonesia.
Lalu bagaimana dengan
budaya Bangsa Indonesia sendiri? Bangsanya lebih tahu budaya asing dibandingkan
budayanya sendiri. Hal ini sangat memprihatinkan, mereka tidak
mengenal budaya asal mereka sehingga semakin minimnya usaha untuk
memperkenalkan Budaya Indonesia di kancah Internasional dan akibatnya semakin
menurunnya jumlah pecinta budaya tradisional. Satu per satu budaya kita diklaim
dan diakui oleh bangsa lain yang sebenarnya merupakan seni bernilai tinggi dan
asli warisan nenek moyang Indonesia. Bagaimana hal itu tidak terjadi? Bangsanya
enggan belajar budayanya sendiri dan malah lebih memilih belajar budaya asing.
Indonesia akan terus dibodohi dan menjauh dari asal mulanya. Jika hal itu terus
berlanjut, habislah Budaya Indonesia. Indonesia akan menjadi bangsa minoritas
tanpa seni budaya dan apalah arti luas wilayah Indonesia dari Sabang sampai
Merauke ini.
Perlunya pelajaran seni
budaya di bangku sekolah terutama SD, SMP, SMA agar peserta didik lebih paham
tentang Budaya Indonesia dan mempunyai motivasi untuk lebih mencintai budayanya
sendiri. Ekstrakurikuler seni juga sangat penting. Sejauh ini hal itu telah
dilakukan di beberapa sekolah di Indonesia. Penerapan bahwa urutan mempelajari
seni dimulai dari budayanya sendiri menuju budaya asing, bukan dibalik atau
malah tidak mempelajari budayanya sendiri. Hal itu merupakan pemahaman yang
keliru. Peran pemerintah juga sangat penting dilakukan. Pemerintah harus
membatasi tayangan budaya asing terutama budaya yang menyimpang terhadap
nila-nilai Pancasila dan UUD 1945 dan menggantinya dengan tayangan seni
tradisional. Selain itu pembenahan terhadap cara pertunjukan seni budaya
tradisional di hadapan penonton juga sangat diperlukan. Adanya penambahan kesan
menarik yang tidak menyimpang adat dan tidak mengubah nilai dari seni
tradisional harus dilakukan agar semakin bertambahnya jumlah pecinta seni
tradisional. Seni tradisional dapat pula disosialisasikan kepada remaja di
Indonesia dengan menyebutkan daya tariknya dan hal yang mengancam apabila seni
tradisional itu dihilangkan.

2 komentar:
like.....
amazing....,,
Posting Komentar